Gorontalo menghadapi isu serius terkait dugaan pemufakatan jahat yang melibatkan Revan Saputra Bangsawan (RSB) dan sejumlah pejabat publik. RSB yang dicurigai mengoperasikan tambang ilegal di Bolaang Mongondow Selatan baru-baru ini bertemu dengan Gubernur Gusnar Ismail di Rumah Dinas Gubernur Gorontalo.
Kedatangan RSB yang diiringi oleh Bupati Bone Bolango Ismet Mile, Wakil Bupati Risman Tolingguhu, serta Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, jelas meningkatkan kecurigaan. Mereka merupakan politisi yang memiliki hubungan erat dengan RSB selama Pilkada Bone Bolango dan PSU Gorontalo Utara, yang mana banyak pihak mengkhawatirkan adanya trade-off yang merugikan masyarakat.
Dugaan Kolusi dalam Pengelolaan Pertambangan
Dugaan kolusi ini semakin menguat ketika Lion Hidjun, seorang pemerhati, mengungkapkan keprihatinannya. Ia menyatakan, “Jangan sampai daerah ini digadaikan oleh para tokoh tersebut; ini akan merusak tatanan pemerintahan dan mental para pemimpin di Gorontalo.” Pernyataan ini menyoroti rasa khawatir akan potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan masyarakat setempat.
Lebih lanjut, Lion menjelaskan bahwa lokasi pertambangan seharusnya dikelola untuk rakyat Gorontalo, bukannya menjadi ladang keuntungan bagi pihak luar. “Informasi menunjukkan bahwa RSB berkolaborasi dengan Gubernur dan beberapa pejabat dalam pengelolaan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Gorontalo,” ujarnya. Kasus ini menunjukkan bagaimana jaringan politik dapat saling mendukung untuk mempertegas posisi satu sama lain, tetapi juga berpotensi merusak hak-hak masyarakat.
Risiko Monopoli dan Masa Depan Pertambangan Rakyat
Di sisi lain, RSB dikabarkan menawarkan izin WPR untuk lokasi baru yang belum pernah dikelola masyarakat sebelumnya. Tindakan ini menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti, “Apakah RSB ingin memonopoli izin WPR di Provinsi Gorontalo hanya demi kepentingan pribadinya?” Analis lainnya menyatakan bahwa jika monopoli ini terjadi, hal itu akan sangat merugikan masyarakat yang telah mengelola tambang secara tradisional selama bertahun-tahun.
Pernyataan Lion mencuat ketika ia menekankan bahwa ada kesan bahwa izin tersebut tidaklah untuk kepentingan masyarakat, melainkan untuk dimanfaatkan oleh RSB. “Permufakatan yang dimaksud adalah opini yang tersedia saat ini. Wilayah pertambangan yang diberitakan seharusnya untuk diperjuangkan oleh masyarakat yang sudah mengelola selama ini,” katanya. Terdapat dugaan bahwa adanya surat rekomendasi diserahkan kepada RSB melalui jalur tertentu yang melibatkan Wakil Bupati, yang menambah kecurigaan akan adanya hubungan emosional di balik kolaborasi tersebut.
Dalam sebuah konfirmasi mengenai hal ini, kepala bidang Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Gorontalo, mengakui bahwa telah ada penetapan untuk WPR yang menjadi bagian dari pengelolaan blok WPR di Provinsi Gorontalo. Menurutnya, nama RSB tidak ada dalam dokumen pengelolaan yang terkait. Ia menekankan bahwa terdapat banyak pihak yang mengajukan dokumen WPR, dan tidak hanya satu orang saja.
Senada dengan itu, dia menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam untuk menghindari persepsi negatif di masyarakat. “Memang banyak yang datang untuk meminta dokumen WPR, tapi tanpa penetapan yang jelas dari pemerintah, izin tidak akan keluar.” Ini menunjukkan bahwa klarifikasi di tingkat pengelolaan dan administrasi sangat penting untuk menciptakan rasa aman dan kepercayaan di dalam masyarakat.
Secara keseluruhan, isu ini membawa angin segar bagi diskusi publik mengenai integritas, transparansi, dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat perlu bersatu dalam menjaga hak-haknya, sambil meminta pertanggungjawaban dari para penguasa dan pihak-pihak yang mencoba bermain di belakang layar dengan kepentingan pribadi. Menjaga keberlanjutan dan keadilan di tanah Gorontalo menjadi tugas kolektif bagi semua pihak yang terlibat.