PENGADILAN Tipikor di Banjarmasin baru-baru ini menggelar sidang perdana terkait dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelewengan dana kredit usaha rakyat (KUR) dari salah satu bank terkemuka. Dalam perkara ini, terdakwa M Dika Irawan, mantan Relationship Manager, menghadapi dakwaan serius.
PENYELEWENGAN dana KUR ini melibatkan Dika dan rekannya Selvie Metty, yang saat ini disidangkan terpisah. Berdasarkan hasil penghitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalimantan Selatan yang dirilis pada 2 Juni 2025, negara kehilangan uang sebesar Rp9,2 miliar yang didapatkan melalui 28 nasabah fiktif. Kasus ini sangat menarik perhatian karena melibatkan mekanisme yang tampaknya direncanakan dengan baik oleh para terdakwa.
Pola Operasi dalam Kasus Korupsi KUR
Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kotabaru, M Rafi Eka Putera, terungkap bahwa Dika dan Metty telah berkolaborasi untuk melakukan rekayasa pengajuan pinjaman KUR. Kegiatan ini berlangsung dari tahun 2021 hingga 2023 dan melibatkan berbagai langkah manipulatif yang bisa dibilang cukup sistematis.
Tak dapat dipungkiri, keahlian Dika dalam memanipulasi data menjadi kunci dari skema penyelewengan ini. Metty berperan dalam pengumpulan data calon peminjam dengan cara mengambil KTP, KK, serta informasi mengenai tempat usaha orang lain, yang semestinya merupakan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, mereka justru menggunakannya untuk menciptakan nasabah fiktif.
Impak Sosial dan Ekonomi dari Penyelewengan Dana
Dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa Dika mendapatkan keuntungan pribadi sebesar Rp410 juta, sedangkan Metty meraup hingga Rp5,6 miliar. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjang dari tindakan mereka. Korupsi semacam ini bukan hanya merugikan negara tetapi juga berdampak pada perekonomian lokal, terutama bagi usaha mikro dan kecil yang seharusnya mendapatkan dana tersebut. Keberadaan nasabah fiktif berpotensi menghalangi calon debitur yang benar-benar membutuhkan bantuan keuangan.
Dalam konteks ini, penting untuk mengedukasi masyarakat dan mempromosikan transparansi dalam proses pengajuan pinjaman. Upaya pencegahan dan penanganan terhadap kasus korupsi ini tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga hukum, tetapi juga harus melibatkan masyarakat dalam pengawasan. Kita perlu mengembangkan sistem yang lebih baik untuk memerangi praktik kotor semacam ini dan mendukung legitimasinya.
Kasus ini semakin mempertegas pentingnya integritas dalam dunia perbankan dan keuangan. Ketelitian dan evaluasi yang tepat terhadap pengajuan pinjaman sangat krusial agar tidak terjadi penyelewengan yang merugikan. Penegakan hukum yang kuat harus menjadi perhatian utama agar kedepannya tidak ada lagi praktik korupsi yang menjerat pegawai negeri atau pihak swasta.
Kasus ini juga bisa menjadi pelajaran berharga bagi lembaga lain. Pihak berwenang diharapkan dapat memiliki mekanisme kontrol yang lebih baik serta melakukan audit secara berkala untuk menanggulangi korupsi. Penegakan hukum harus dilaksanakan secara adil dan tegas agar bisa memberikan efek jera kepada pelaku dan mendorong masyarakat untuk lebih waspada terhadap tindakan yang mencurigakan.
Secara keseluruhan, sidang kasus ini menunjukkan bahwa upaya untuk memberantas korupsi di Indonesia masih harus terus menjadi fokus. Kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat juga sangat penting untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam sektor keuangan.