• Hubungi Kami
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer
Kamis, Juli 10, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Rilisutama.com
  • Home
  • Metropolis
  • Ekonomi
  • Daerah
  • Hukrim
  • Nasional
  • Home
  • Metropolis
  • Ekonomi
  • Daerah
  • Hukrim
  • Nasional
No Result
View All Result
Rilisutama.com
No Result
View All Result
Home Hukrim

Kembalikan Sungai Kami Kisah Bahari Sungai Belitung dan Kota yang Melupakan Asalnya

Kembalikan Sungai Kami Kisah Bahari Sungai Belitung dan Kota yang Melupakan Asalnya

Oleh: Subhan Syarief

PAGI yang lembab tahun 1973, di sebuah gang sempit bernama Tengku Umar, seorang bocah melompat dari titian ke sebuah jukung milik pamannya yang tertambat di tepi sungai.

Dayung kayu tua berdecit saat membelah air kanal Belitung yang kala itu masih selebar delapan hingga 12 meter.

Airnya gelap tapi hidup, memantulkan bayangan pohon rambai, jingah, dan gayam yang merunduk di tepian.

Dari kejauhan, suara burung betet berceloteh diselingi gemuruh gergaji mesin dari sawmill di Alalak meraung tak henti.

Bau serbuk kayu dan tanah basah menari di udara, menjadi parfum masa kecil yang tak tergantikan.

Itulah Banjarmasin dulu. Kota air sejati. Di mana anak-anak belajar arah dari arus, bukan dari peta.

Di mana Sungai Belitung yang ujungnya terhubung ke Sungai Barito, menjelma jaringan nadi kehidupan yang menyatu dengan bahasa, mitos, dan ritme harian masyarakat.

Sungai bukan sekedar air, la adalah ruang sosial, tempat berdagang dan bercengkrama, tempat anak-anak bermain dan orang tua menata harapan.

Sungai adalah tempat kota ini tumbuh, belajar bicara, dan mengenali dirinya sendiri.

Inilah bentuk paling murni dari fluvial urbanism—kota yang dilahirkan dan dibesarkan oleh air.

Tapi kota ini lupa. Dan lupa adalah luka.

Satu per satu rumah panggung direbahkan. Titian diuruk jadi jalan. Jukung diparkir permanen. Sungai dipersempit, lalu diabaikan. Pekarangan ditimbun, lalu dijual.

Kini, Sungai Belitung hanya setipis garis gelap di peta kota; parit sunyi penuh sampah plastik dan kenangan tenggelam.

Hujan sedikit, ia meluap. Musim kemarau, ia mengendap dan membusuk. Bau tak sedap jadi biasa. Dan kota ini, perlahan, kehilangan akal airnya.

Banjarmasin berubah menjadi kota darat. Panas ekstrem, kemacetan, dan banjir datang silih berganti.

Ironis, sebab jawaban atas krisis iklim justru mengalir diam dalam kanal-kanal tua yang dulu pernah hidup.

Kembalikan sungai kami” bukan seruan romantik. la adalah panggilan ekologis, budaya, dan moral. Sebuah kompas bagi kota yang ingin pulang ke jati dirinya.

Peter Richards menyebut, restorasi sungai tidak cukup hanya dengan alat berat. Ada tiga tahap: mengenali sejarah hidrologi, mengembalikan bentuk alaminya, dan menghidupkan kembali fungsi sosialnya.

Artinya: bukan hanya menggali lumpur dan membongkar beton, tapi juga membongkar ingatan kota yang telah terkubur.

Menemukan Kembali Identitas Sungai

Konsep living waterfront menawarkan jalan: sungai yang hidup adalah sungai yang disentuh, disapa, dan dihidupi kembali. Dermaga bisa menjadi pasar subuh. Titian jadi panggung budaya.

Sekolah bisa mengajar IPA di atas lanting. Musik panting dan madihin kembali menggema di tepian.

Restorasi bukan hanya pekerjaan fisik, tapi kerja cinta. la butuh keterlibatan warga, bukan sekedar proyek APBD. la butuh imajinasi, bukan hanya masterplan.

Bangkok melakukannya lewat Khlong Ong Ang. Seoul menghidupkan Cheonggyecheon. Udara membaik. Iklim menyejuk. Ekonomi menggeliat. Banjarmasin pun bisa.

Menyusun Rencana Aksi untuk Masa Depan

Tapi perlu keberanian untuk membuka jalan yang dulu sudah tertutup.

Bantaran boleh padat. Lahan bisa sempit. Tapi tak ada ruang yang terlalu sempit untuk sebuah harapan. Relokasi bisa dilakukan partisipatif. Sungai bisa dibersihkan tanpa mengusir manusia.

Rumah panggung bisa dibangun kembali; tak hanya menyelamatkan sungai, tapi juga menghidupkan jati diri kota.

Bayangkan tahun 2045. Anak-anak naik jukung listrik menyusuri kanal bersih menuju sekolah. Di dermaga kayu, seorang nenek menawar ikan pipih sambil menyeruput kopi “sungairica”.

Azan magrib menggema, bersamaan dengan tawa anak-anak meniup suling dari perupuk di bawah langit jingga.

Kita tidak sedang membangun museum nostalgia. Kita sedang menjemput masa depan yang lebih ramah, adil, dan lestari tanpa meninggalkan akar.

Sebab kota ini tak pernah benar-benar kering. la hanya haus akan ingatan. Dan sungai tak pernah mati. la hanya menunggu dipanggil kembali dengan penuh cinta.

Kembalikan sungai kami; Sebelum kota ini benar-benar lupa siapa dirinya.

Previous Post

Simbol Syukur Kebersamaan dan Warisan Kuliner

Next Post

Peluang Bobby Nasution Diperiksa Kasus OTT Kadis PUPR di Sumut Diumumkan KPK

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori

  • Daerah
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Metropolis
  • Nasional

Rekomendasi

Sidak Gas 3 Kg di Martapura, Temuan Pedagang Menjual Rp 45 Ribu hingga Rp 50 Ribu

Sidak Gas 3 Kg di Martapura, Temuan Pedagang Menjual Rp 45 Ribu hingga Rp 50 Ribu

Dukungan Penuh Pangeran MBS untuk Kampung Haji Indonesia di Arab Saudi

Dukungan Penuh Pangeran MBS untuk Kampung Haji Indonesia di Arab Saudi

Lusa, Lisa Halaby-Wartano Resmi Dilantik sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru

Lusa, Lisa Halaby-Wartano Resmi Dilantik sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru

Sidebar

Rilisutama.com

© 2025 Rilisutama.com – All Rights Reserved.

Navigate Site

  • Hubungi Kami
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer

Follow Us

No Result
View All Result
  • Home
  • Metropolis
  • Ekonomi
  • Daerah
  • Hukrim
  • Nasional

© 2025 Rilisutama.com – All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In