PROTES kalangan Legislatif atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029 dinilai sarat kepentingan tersembunyi.
Pakar Hukum Tata Negara menyatakan bahwa sudut pandang masyarakat terhadap putusan MK perlu mempertimbangkan argumen yang memiliki dasar dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku.
“Cara kita menilai keputusan MK bukan dengan menuduh. Namun dengan mengecek argumen fundamental yang digunakan. Secara prinsip, tidak ada yang keliru,” tegas pakar tersebut dalam diskusi publik.
Putusan MK mengenai pelaksanaan Pemilu ini memang telah mengguncang konfigurasi politik dan membuka pertarungan besar dalam tafsir konstitusi.
Di satu sisi, putusan ini dianggap sebagai langkah untuk menyelamatkan demokrasi dari kelelahan institusional yang berkepanjangan.
Di sisi lain, elite politik justru membingkainya sebagai ancaman terhadap kedaulatan rakyat.
Menurut pakar tersebut, narasi yang dibangun oleh DPR seolah MK telah melampaui kewenangan sebagai positive legislator hanyalah pembingkaian sepihak yang mengaburkan konteks historis dan perkembangan hukum konstitusi di Indonesia.
“Ini adalah konsep lama yang bahkan sudah usang. Di banyak negara, pengadilan konstitusi memang turut mengoreksi kekosongan hukum ketika parlemen mengalami kebuntuan,” ujarnya.
Pakar tersebut juga berpendapat bahwa DPR dan partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) merasa tertekan bukan hanya karena aspek teknis pemilu, melainkan karena struktur distribusi kekuasaan yang terganggu.
“Pola pemilu serentak selama ini sangat menguntungkan elite politik. Semua calon lokal dapat memanfaatkan kampanye nasional secara bersamaan. Sekali jalan, sekali logistik, dan sekali penggalangan dana,” imbuhnya.
Ia menambahkan bahwa ketakutan terbesar elite bukanlah pada pergeseran jadwal pemilu, melainkan pada hilangnya kendali mereka dalam proses politik dan ekonomi selama proses kandidasi.
Hal ini terlihat dari reaksi keras seperti seruan untuk amandemen UUD dan tuduhan bahwa MK menyusupkan agenda tersembunyi dalam putusannya.
Spesialis hukum tersebut mengingatkan bahwa usaha untuk melemahkan MK hanya karena keputusan yang tidak menguntungkan bagi elite adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang seharusnya dihindari.
“Jika KPK dilemahkan melalui revisi UU, MK bisa saja mengikuti jejak yang sama melalui revisi konstitusi. Ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi kita,” jelasnya.
Lebih lanjut, pakar hukum menyatakan bahwa kegaduhan yang terjadi di kalangan elite seharusnya dapat meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu konstitusi.
Ia menekankan pentingnya pendidikan konstitusi bagi masyarakat agar tidak terjebak dalam narasi yang dimanipulasi.
“Jika kita hanya terfokus pada pidato partai, kita mungkin akan bingung. Padahal, ini bukan semata-mata sebuah keputusan hukum. Ini merupakan momen yang menentukan arah demokrasi kita,” ungkapnya.
Pandangan Beragam Mengenai Putusan MK
Pakar Hukum Tata Negara dari sebuah universitas menyebut bahwa kegaduhan politik yang muncul sebagai reaksi atas putusan MK ini terkesan berlebihan dan tidak proporsional.
Ia menilai bahwa putusan MK justru merupakan respons yang rasional terhadap kerumitan dan kerusakan struktural yang terjadi dalam sistem pemilu serentak.
“MK memberikan jawaban atas realitas yang selama ini diabaikan oleh para pembuat undang-undang. Keputusan ini sebenarnya cukup logis, namun justru itulah yang membuat elite politik merasa panik,” jelasnya.
Ia juga mencurigai adanya agenda politik yang tersembunyi di balik reaksi ini, yaitu keinginan untuk mengembalikan pola pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD.
“Apabila pemilihan langsung dipisahkan dari pemilu nasional, mereka akan kehilangan momentum. Mereka tidak dapat lagi memanfaatkan popularitas capres untuk memenangkan calon kepala daerah,” katanya.
Di sisi lain, seorang pakar dari universitas terkemuka menegaskan bahwa MK hanya menjalankan fungsi koreksi terhadap sistem yang dianggap tidak sehat.
Ia menyebutkan bahwa selama ini, DPR gagal mengambil langkah-langkah reformasi dari enam model pemilu yang telah diajukan MK dalam putusan sebelumnya.
“Putusan ini bukanlah sebuah kejutan. Ini adalah koreksi atas kebuntuan pembaruan hukum yang tidak kunjung diselesaikan oleh DPR,” imbuhnya.
Menurutnya, sikap elite politik sebagian besar didorong oleh ketakutan kehilangan kendali atas proses politik lokal yang selama ini menjadi ladang kuasa. Dengan kata lain, keputusan MK ini mungkin lebih dari sekadar putusan hukum; ini adalah momen kritis bagi arah masa depan demokrasi di tanah air.
Berkaca pada dinamika yang ada, penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan untuk memahami konteks keputusan ini lebih dalam sehingga mampu memberikan respons yang lebih bijak dan konstruktif untuk masa depan politik yang lebih baik.
Dengan pemahaman yang tepat, diharapkan masyarakat tidak terjebak dalam narasi yang manipulatif yang seringkali dihadirkan oleh kalangan elite. Kesadaran politik serta pendidikan konstitusi yang berkelanjutan adalah kunci untuk mendorong arah demokrasi yang lebih sehat.