Oleh : Ikhsan Alhaque
SAAT upacara Tanggal 17 Juli 2025 di Halaman Balaikota Banjarmasin, Saya ikut berdiri dalam barisan Apel Kesadaran Nasional Korpri yang dirangkai dengan peringatan Hari Koperasi Nasional ke-78.
DI sela-sela pidato Menteri Koperasi yang dibacakan oleh pembina apel, Asisten Ekobang, telinga Saya menangkap satu janji yang tak asing: tekad pemerintahan Presiden Prabowo untuk mendirikan Koperasi Merah Putih di berbagai pelosok negeri. Sebuah komitmen yang, jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, bisa menjadi fondasi ekonomi nasional berbasis rakyat.
Tapi dalam kesakralan apel itu, Saya justru teringat wajah-wajah koperasi yang makin sayup di tengah bisingnya ekonomi digital. Koperasi hari ini, sayangnya, justru terkapar di lorong-lorong teknologi, kalah suara dari pinjaman online (pinjol), kalah lincah dari perbankan, bahkan kalah cepat dari rentenir yang tetap eksis di kampung-kampung.
Transformasi Koperasi di Era Digital
Menurut data 2024, Indonesia memiliki lebih dari 131.617 koperasi aktif dengan total anggota nyaris 30 juta orang, namun kontribusinya terhadap PDB nasional masih di bawah 1 persen. Sementara pinjol, per Desember 2023, mencatat penyaluran kredit lebih dari Rp55 triliun per bulan. Pinjaman instan, satu klik, tanpa musyawarah. Sementara koperasi, yang mestinya hadir sebagai rumah ekonomi rakyat, justru masih berkutat dengan rapat, proposal, dan pencatatan manual. Di tengah gelombang pinjaman digital, ekspansi bank online, dan kelincahan praktik informal, koperasi mulai kehilangan makna, bahkan kehilangan eksistensi.
Koperasi simpan pinjam—yang dulunya tulang punggung ekonomi keluarga di kampung-kampung—kini makin terpinggirkan. Banyak yang tak mampu menjawab kebutuhan zaman. Pelayanannya lamban, manajemennya konvensional, dan tidak memiliki daya tarik bagi generasi muda. Dalam dunia yang bergerak secepat algoritma, koperasi yang jalan di atas mekanisme lama seperti perahu tua yang menolak berlayar. Padahal bukan koperasi yang usang, tapi cara kita mengelolanya yang tertinggal.
Strategi Membangkitkan Koperasi untuk Rakyat
Solusinya bukan berhenti pada retorika peringatan. Pertama, koperasi harus masuk secara serius ke dunia digital. Negara harus memfasilitasi terbentuknya super-app koperasi nasional, semacam platform digital yang mengintegrasikan semua layanan keuangan dan pemasaran UMKM. Kehadiran teknologi ini bisa menarik generasi muda untuk kembali terlibat dalam koperasi.
Kedua, lahirkan Sekolah Koperasi, lembaga vokasi kolaboratif antar-Kemenkop, BUMN, dan universitas, untuk melahirkan manajer koperasi yang bukan hanya idealis, tapi juga profesional. Pendidikan yang berkualitas ini akan menghasilkan SDM yang memahami dinamika pasar serta manajemen digital.
Ketiga, koperasi sektor pangan, energi rakyat, dan logistik desa harus diberi proteksi fiskal: insentif pajak, subsidi modal, dan jaminan pembelian. Dengan demikian, koperasi dapat beroperasi lebih efisien dan mampu bersaing dengan pinjaman online serta institusi keuangan lainnya.
Keempat, program Koperasi Merah Putih harus berjalan dengan pengawasan ketat, sistem akuntansi digital, dan pendampingan lintas sektor—agar tidak menjadi koperasi papan nama yang hanya hidup di kertas musyawarah desa. Pastikan ada struktur yang jelas dan tujuan yang terukur dalam setiap koperasi yang dibentuk.
Contoh nyatanya sudah ada, sebuah koperasi yang berhasil menunjukkan transformasi dengan layanan distribusi nasional, manajemen profesional, audit dari lembaga terkemuka, dan omzet yang signifikan. Ini membuktikan bahwa koperasi bisa bertransformasi. Dengan cara ini, koperasi dapat membuktikan bahwa mereka bukan sekadar alat pelengkap ekonomi, melainkan kekuatan bisnis yang kompetitif—asal diberi struktur, strategi, dan kepercayaan.
Maka peringatan Harkopnas bukan sekadar nostalgia. Ia adalah seruan untuk kembali menegaskan posisi koperasi sebagai fondasi keadilan ekonomi bangsa. Jika koperasi terus jadi ornamen, bukan aktor, maka kita kehilangan peluang untuk membangun ekonomi yang merata dan bermartabat. Pemerintah tidak boleh sekadar memberi panggung simbolik—ia harus hadir sebagai arsitek sistem yang berpihak.
Indonesia tidak kekurangan koperasi. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk menjadikannya sebagai pilar utama ekonomi rakyat. Karena koperasi bukan jalan alternatif—ia adalah jalan pulang bagi keadilan yang lama hilang.(*)
Penulis : Kadis Perpustakaan Kota Banjarmasin