BAGI yang pernah berkunjung ke kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam, pasti mengakui tempat ini sangat indah, tak kalah dengan di Pulau Jawa.
Udara sejuk, pemandangan hijau nan asri, dengan latar gugusan pegunungan Meratus.
Lokasinya tidak jauh dari Kota Banjarmasin, hanya menempuh jarak sekitar 1,5 sampai 2 jam.
Namun, tahukah di balik hijaunya Tahura Sultan Adam, tersimpan cerita sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri.
Hutan Pendidikan Hingga Jejak Penjajahan
Sebelum menjadi destinasi wisata seperti sekarang, kawasan ini dulunya adalah hutan pendidikan milik Universitas Lambung Mangkurat.
Tanahnya dipinjamkan oleh masyarakat melalui sosok tokoh lokal bernama Kai Jahari, dan dimanfaatkan sebagai tempat penelitian bagi mahasiswa dan akademisi.
Namun, jejak sejarahnya ternyata jauh lebih tua.
Sekretaris Desa Mandingain Timur, Mahrus, menyebutkan bahwa sekitar tahun 1942–1943, saat masa penjajahan Belanda, wilayah ini sudah dikenal.
Salah satu yang ikonik adalah keberadaan Gunung Basar, yang oleh masyarakat digambarkan sebagai gunung paling “ganas”.
Menurut cerita, kawasan ini sempat difungsikan sebagai tempat istirahat dan pengobatan.
Bahkan, pada zamannya, sudah ada fasilitas seperti kolam renang alami dan tempat olahraga yang memanfaatkan aliran sungai serta kontur pegunungan.
Beberapa bangunan tua yang kini bisa ditemukan di atas bukit, seperti pemandian dan benteng, disebut-sebut merupakan peninggalan era Belanda.
Kunjungan Tokoh Penting dan Sejarahnya
Tahura Sultan Adam tak hanya kaya cerita, tapi juga menyimpan jejak langkah para tokoh penting.
Jalan utama yang membentang dari Simpang Tiga ke dalam kawasan ini dibangun secara gotong royong oleh warga, bahkan ada pekerja dari daerah Banua Enam yang diupah dengan rokok, beras, dan lauk.
Konon, Ratu Belanda juga pernah menginjakkan kaki di kawasan ini, menandai pentingnya posisi Tahura secara historis.
Transformasi besar terjadi saat seorang presiden berkunjung sekitar era 1980-an. Dalam kunjungan itu, nama “Tahura Sultan Adam” resmi disematkan, sebagai penghormatan terhadap Sultan Adam—salah satu raja besar dalam sejarah Kesultanan Banjar.
Monumen peringatan kedatangan presiden pun masih bisa dijumpai di lokasi.
Sebelumnya, kawasan ini juga sempat dihuni oleh gajah dari Lampung yang didatangkan oleh Dinas Kehutanan, bekerja sama dengan warga, yang menandai awal mula geliat wisata di kawasan tersebut.
Meski sempat mengalami pasang surut jumlah kunjungan, pengelolaan Tahura kini terus diperbaiki dan revitalisasi kawasan pun dilakukan agar tetap menarik bagi wisatawan.
Kawasan ini pun bukan hanya soal alam dan sejarah formal, tapi juga kaya akan cerita rakyat. Di masa lalu, kawasan ini jadi tempat persembunyian saat pergolakan sosial terjadi. Beberapa sisa peluru bahkan masih ditemukan di sejumlah titik.
Mahrus juga menyebutkan bahwa daerah Mandiangin—yang kini jadi salah satu pintu masuk Tahura—dulu memiliki kampung-kampung kecil yang menyimpan kisah dan misteri tersendiri.
“Banyak informasi saya dapat dari cerita orang tua zaman dulu. Sayangnya, tidak semua bisa dibuktikan karena keterbatasan dokumentasi dan sebagian tokohnya sudah tiada,” ujarnya.
Kini, Tahura Sultan Adam bukan hanya tempat rekreasi, tapi juga museum hidup yang menyimpan napak tilas sejarah setempat.