AKSI penolakan terhadap pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP) disuarakan oleh gabungan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Tanah Air.
Mereka berkumpul dan menggelar aksi protes di luar Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Selasa (22/7/2025), untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pengesahan R-KUHAP yang dianggap cacat prosedur dan berpotensi mengancam hak-hak dasar warga negara.
Reaksi Mahasiswa Terhadap R-KUHAP
Dalam aksi tersebut, Daniel Winarta dari LBH Jakarta menjadi salah satu orator yang menyuarakan keprihatinan terhadap proses legislasi yang berlangsung. Ia menegaskan, “Kami hadir hari ini karena negara gagal menjamin proses hukum yang adil bagi warganya. R-KUHAP ini disusun secara terburu-buru dan minim partisipasi bermakna.” Pernyataan ini mencerminkan rasa frustrasi mahasiswa terhadap kondisi hukum yang tampak timpang.
Ia juga menyoroti bahwa pembahasan R-KUHAP berlangsung tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi publik. Lebih lanjut, Daniel menyebut bahwa “proses pembahasan tertutup dan minim ruang dialog hanya melibatkan sekelompok orang. Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi.” Dengan sudut pandang ini, ia mengajak masyarakat untuk lebih peka terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, terutama yang berdampak langsung pada hak-hak mereka.
Implikasi R-KUHAP bagi Rakyat
Dalam kritikannya, Daniel menegaskan bahwa R-KUHAP seharusnya bertujuan untuk melindungi hak-hak warga, bukan mempersempit ruang perlindungan hukum. Ia mengungkapkan bahwa jika R-KUHP tersebut disahkan, maka akan ada banyak anak bangsa yang terjerat dalam sistem peradilan yang tidak adil. Hal ini juga diungkapkan oleh Ketua BEM Universitas Indonesia, Zayyid Sulthan Rahman, yang mencatat bahwa substansi R-KUHAP bermasalah dan perlu ditinjau ulang secara menyeluruh.
“Kita merasa substansi dalam R-KUHAP ini perlu dibahas ulang. Harus ditunda, kami menolak substansi dan prosesnya,” ujar Zayyid. Ia menyoroti fakta bahwa lebih dari 1.600 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hanya dibahas dalam waktu yang singkat, yang dinilainya sebagai proses yang sangat bermasalah dan tidak dapat diterima.
Zayyid juga berbicara mengenai dampak R-KUHAP bagi masyarakat kecil yang tidak memiliki pemahaman cukup tentang hukum dan akses terhadap advokasi yang layak. “Rata-rata orang yang terjebak dalam masalah hukum adalah mereka yang tidak mengerti hukum,” ujarnya. Di sini, ia menekankan pentingnya memperkuat posisi advokat untuk melindungi hak-hak individu yang rentan, bukan hanya memberdayakan aparat penegak hukum.
Dengan demikian, mahasiswa menginginkan agar DPR membuka ruang partisipasi yang lebih luas, melibatkan masyarakat sipil secara menyeluruh baik dalam proses pengesahan maupun pembahasan R-KUHAP. Penolakan mereka diwarnai dengan berbagai poster kritis dan yel-yel yang meminta agar pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat dan mempertimbangkan hak-hak dasar mereka.
Melalui aksi ini, mahasiswa tidak hanya menyuarakan penolakan terhadap R-KUHAP tetapi juga mendorong adanya dialog yang konstruktif antara masyarakat dan legislatif untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan transparan. Dengan demikian, diharapkan ke depan tidak ada lagi kebijakan yang mengabaikan partisipasi masyarakat, dan setiap langkah yang diambil menghasilkan dampak positif bagi semua lapisan masyarakat.
Dengan segala pertimbangan ini, penolakan terhadap R-KUHAP bisa dilihat sebagai reaksi yang mencerminkan keinginan untuk memastikan bahwa proses hukum yang adil dan melindungi hak asasi manusia tetap terjaga bagi setiap individu di negara ini.