PEMILIHAN Umum (Pemilu) legislatif dan eksekutif sebaiknya dipisahkan untuk meningkatkan efektivitas proses demokrasi.
Usulan ini datang dari anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo, yang menyarankan agar pemilu dilaksanakan dalam dua tahap berbeda, yaitu pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Memisahkan kedua pemilu ini dapat menjadi solusi yang tepat dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Melihat Pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Eksekutif
Pemilu legislatif mencakup pemilihan untuk DPR RI, DPD RI, dan DPRD, sedangkan pemilu eksekutif fokus pada pemilihan presiden dan kepala daerah. “Kami ingin membahas kemungkinan untuk mengadakan pemilu legislatif terlebih dahulu, diikuti oleh pemilu eksekutif,” ujar Firman pada 31 Juli 2025. Langkah ini dianggap penting agar hasil pemilu legislatif bisa digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan ambang batas pencalonan presiden.
Dalam konteks ini, ada harapan bahwa RUU Pemilu yang disusun dengan metode omnibus law akan menjadi jawaban atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengarahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. “Kami sebagai penyusun undang-undang harus memahami putusan MK yang tentunya membawa banyak kebingungan,” lanjutnya. Dengan memisahkan pemilu, diharapkan akan ada implementasi yang lebih jelas dan terstruktur.
Implikasi Keputusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kebijakan
Di samping itu, Firman menyoroti implikasi dari putusan MK mengenai perpanjangan masa jabatan sejumlah kepala daerah dan anggota DPRD. Menurutnya, keputusan tersebut mengandung masalah, karena tidak ada dasar hukum yang sesuai dalam undang-undang pemilu yang berlaku saat ini. “Jika ada perpanjangan masa jabatan, itu harus melalui amandemen konstitusi yang pastinya tidak bisa dilakukan sembarangan,” imbuhnya.
Putusan MK yang dinyatakan melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pemilu daerah seharusnya dilaksanakan dua atau dua setengah tahun setelah pemilu nasional. Pemilu daerah itu sendiri mencakup pemilihan untuk anggota DPRD dan kepala daerah, sementara pemilu nasional menggambarkan pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, serta presiden dan wakil presiden.
MK juga menegaskan bahwa waktu pemilihan nasional berakhir saat anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih dilantik. Dalam putusannya, MK meminta agar pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional untuk mengatur masa transisi jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil pemilihan 2024. Keputusan ini akan langsung berlaku untuk Pemilu 2029, sehingga penting bagi para pembuat kebijakan untuk memahami dan menyesuaikannya dengan ketentuan yang ada.
Firman juga menjelaskan bahwa hingga saat ini, DPR belum mengambil keputusan mengenai arah perubahan sistem pemilu di tanah air. Meskipun Komisi II DPR telah menyurati pimpinan DPR untuk meminta klarifikasi, hingga kini belum ada respons yang jelas. “Kami berharap proses pembahasan RUU Pemilu dapat dimulai lebih awal agar penyusunannya dapat dilakukan dengan baik dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,” imbuhnya, sambil menambahkan kenyataan bahwa pemilu selanjutnya baru akan berlangsung pada 2029.
“Keputusan yang terburu-buru bisa berujung pada hasil yang tidak maksimal. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa revisi undang-undang pemilu kerap dilakukan menjelang pemilu, yang berpotensi menyulitkan proses penyelenggaraannya,” tutup Firman. Diskusi ini menjadi krusial untuk memastikan bahwa sistem pemilu di Indonesia tidak hanya berjalan tetapi juga berkualitas dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat atas proses demokrasi yang berlangsung.