TEMUAN lapangan Komisi IX DPR RI terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan adanya perbedaan dengan yang disampaikan Badan Gizi Nasional.
WAKIL Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, mengungkapkan temuan penting saat melakukan kunjungan kerja ke dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Provinsi Gorontalo. Temuan ini menyoroti tantangan yang dihadapi dalam implementasi program gizi yang seharusnya memberi dampak positif bagi anak-anak dan ibu hamil.
Perbedaan Antara Laporan dan Realitas di Lapangan
Salah satu temuan yang menjadi perhatian adalah adanya perbedaan signifikan antara laporan yang disampaikan Badan Gizi Nasional (BGN) dalam rapat resmi di Jakarta dengan implementasi program di lapangan. Menurut Ninik, dalam rapat kerja, BGN memaparkan bahwa menu untuk anak sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan ibu hamil dirancang berbeda.
Namun, kenyataannya, instruksi yang diterima di lapangan ternyata sama saja. Hanya porsi dan tekstur makanan yang berbeda. Ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas program tersebut dalam memenuhi kebutuhan nutrisi masing-masing kelompok. Anak-anak sekolah dasar, misalnya, membutuhkan porsi dan jenis makanan yang berbeda dengan remaja SMA atau ibu hamil. Tanpa perbedaan yang jelas, di khawatirkan tujuan gizi yang dimaksudkan menjadi tidak terpenuhi.
Tantangan dalam Koordinasi dan Implementasi Gizi
Salah satu contoh yang Ninik temukan adalah menu telur balado. Jika makanan untuk anak-anak mengandung unsur pedas, pertanyaannya adalah, apakah itu sudah tepat? “Kita harus evaluasi lagi. Karena cita rasa pedas bisa mempengaruhi nafsu makan anak-anak, bahkan berisiko mengganggu pencernaan,” kata Ninik. Ini menunjukkan pentingnya pemahaman akan preferensi dan kebutuhan gizi anak-anak agar program dapat berfungsi secara optimal.
Temuan ini memunculkan kekhawatiran bahwa ada celah koordinasi antara perencanaan pusat dan pelaksanaan daerah. Ninik menilai, sangat penting untuk memastikan bahwa instruksi teknis benar-benar diterima, dipahami, dan dilaksanakan oleh pengelola dapur di setiap daerah. Tanpa adanya komunikasi yang baik, tujuan program gizi nasional dapat terancam mencapai hasil yang kurang memuaskan.
Lebih lanjut, Ninik menegaskan bahwa DPR RI memiliki peran untuk memastikan anggaran yang digelontorkan negara digunakan secara efektif. “Kalau yang tertulis di laporan berbeda dengan yang terjadi di lapangan, ini bukan sekadar masalah teknis. Ini menyangkut akuntabilitas,” tegasnya. Hal ini menunjukkan bahwa transparansi dalam pelaksanaan program sangatlah penting untuk mencapai keberhasilan dalam pemenuhan gizi masyarakat.
Ia berharap BGN segera melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk memperbaiki alur koordinasi, agar perencanaan gizi nasional tidak hanya indah di atas kertas, tetapi benar-benar terimplementasi dengan baik di lapangan. “Gizi yang tepat sasaran adalah kunci untuk membangun generasi emas Indonesia. Kalau salah sasaran, dampaknya akan panjang,” pungkasnya.