17 Agustus 2025 merupakan peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Delapan dekade terbebas dari penjajahan asing, ternyata masih banyak catatan bagi bangsa ini.
Direktur Eksekutif sebuah lembaga swadaya masyarakat mengungkapkan bahwa peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia justru diwarnai meningkatnya arogansi kekuasaan terhadap rakyat.
Dalam pandangannya, pemerintah tidak hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga mengikis ruang demokrasi dan berpotensi mengulang pola otoritarian masa lalu.
“Menjelang Indonesia Merdeka yang ke-80, kita masih menyaksikan perilaku sewenang-wenang dari kekuasaan,” ujarnya.
Meningkatnya Arogansi Kekuasaan
Salah satu contoh yang disorot adalah kenaikan pajak hingga 250 persen di suatu daerah tanpa konsultasi publik.
Kebijakan ini dinilai mencerminkan kepemimpinan yang arogan dan memicu gelombang protes besar-besaran, termasuk tuntutan agar bupati setempat mundur. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Kritik terhadap Kebijakan dan Pengkultusan Sejarah
Kritik juga diarahkan pada rencana pemerintah menulis ulang sejarah yang dijadwalkan diumumkan pada 17 Agustus. Usman menyebut langkah tersebut berbahaya karena dapat menghapus catatan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan praktik represif dari masa lalu.
“Kalau sejarah hanya diakui satu versi, versi lain bisa dianggap subversi. Kami juga menolak rencana menetapkan beberapa tokoh sebagai pahlawan,” tegasnya.
Dari sini, terlihat bahwa pengkultusan individu berpotensi merusak nilai-nilai demokrasi dan memberi jalan bagi interpretasi sejarah yang bias.
Usman menegaskan bahwa setidaknya ada tiga ciri minimal demokrasi yang kini terancam, yaitu kebebasan sipil, keberadaan oposisi partai, dan integritas pemilu. Jika hal ini tidak diatasi, Indonesia berisiko kehilangan esensi demokrasi yang telah diperjuangkan selama ini.
Secara keseluruhan, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis dan terlibat dalam proses demokrasi. Kebangkitan kesadaran politik adalah langkah pertama dalam menciptakan perubahan yang nyata.
Dalam konteks ini, tantangan ekonomi dan keadilan sosial juga tidak bisa diabaikan. Pemerintah menghadapi kritik terkait pemilihan kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok tertentu, sementara rakyat kecil terjebak dalam kenaikan beban pajak.
“Kedaulatan rakyat terus dikikis, kesenjangan sosial makin tajam. Ribuan orang kehilangan pekerjaan, dan itu belum mendapatkan solusi yang serius,” ujarnya.
Dalam hal penegakan hak asasi manusia, penting untuk menyelesaikan pelanggaran berat masa lalu, seperti Tragedi Semanggi dan kekerasan terhadap etnis tertentu. Ini menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif untuk tidak melupakan sejarah dan memperbaiki kesalahan masa lalu.
Usman juga menyampaikan bahwa pendekatan militeristik di beberapa daerah justru memperlebar luka yang sudah ada. Pendekatan yang lebih manusiawi dan dialogis perlu diutamakan untuk mencapai perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan.
“Kita perlu belajar dari pemimpin-pemimpin masa lalu yang mengedepankan dialog dan pengakuan terhadap berbagai identitas yang ada,” pungkasnya.
Dengan berakhirnya peringatan ini, diharapkan seluruh elemen masyarakat dapat bersatu dan mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan suara rakyat, agar cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya dapat terwujud.