DELAPAN dekade sudah bendera merah putih berkibar di angkasa. Tiap 17 Agustus, sorak “Merdeka!” kembali membahana dari pelosok kampung hingga istana. Pidato penuh semangat dibacakan, doa dilantunkan, dan rakyat diundang untuk merayakan satu momen paling bersejarah: hari kemerdekaan.
NAMUN, di balik gegap gempita perayaan itu, tersimpan pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban: benarkah kemerdekaan telah menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya, ataukah ia hanya slogan kosong yang terus diulang tanpa makna?
Sejarah memang mencatat Indonesia berhasil mengusir penjajah pada 1945. Tapi, sebagaimana dikatakan Benedict Anderson dalam karya klasiknya, bangsa bukan hanya soal simbol dan bendera, melainkan sebuah proyek yang harus dirawat agar benar-benar hidup. Indonesia merdeka, tetapi struktur kuasa yang mengatur jalannya negeri ini nyatanya tak sepenuhnya bebas dari pola lama. Bila dulu Belanda datang membawa eksploitasi, kini wajah-wajah penguasa baru hadir dengan strategi tak kalah lihai: oligarki.
Oligarki dalam Konteks Indonesia
Oligarki, kata para ahli, tak hanya sekadar kelompok kaya yang menguasai sumber daya, melainkan sebuah sistem di mana kekayaan dan kuasa saling menopang. Dalam konteks Indonesia, pasca reformasi 1998 yang digadang-gadang sebagai pintu demokrasi, oligarki justru menemukan panggung emasnya. Demokrasi elektoral membuka jalan bagi modal untuk bertarung dalam politik. Akhirnya, siapa yang punya uang, dialah yang paling berkuasa. Sah-sah saja, tetapi ada konsekuensi besar di baliknya.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa situasi pasca-Orde Baru menunjukkan wajah degradasi kualitas hidup yang mengkhawatirkan bagi rakyat. Jalur politik yang dikuasai oleh elit-elit yang lapar kekuasaan membuat harapan akan kesejahteraan rakyat seakan sirna. Meskipun pemilihan umum diselenggarakan dengan semarak, kenyataannya rakyat tidak mendapatkan suara yang seharusnya. Ketika modal mengambil alih, suara rakyat menjadi alat pemuas ambisi oligarki tanpa substansi.
Strategi Melawan Oligarki dan Mendorong Kesejahteraan
Dengan kondisi yang ada, penting bagi kita untuk merenungkan langkah strategis apa yang dapat diambil. Pertama, pendidikan kritis menjadi salah satu jalan keluar untuk memberdayakan masyarakat. Kesadaran akan hak-hak serta kewajibannya sebagai warga negara adalah pilar penting untuk memecah jeratan oligarki. Rakyat penting untuk memahami bahwa suara mereka memiliki kekuatan yang besar, bukan sekadar menjadi angka dalam pemilih.
Selain itu, transparansi dalam pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam adalah perkara yang harus didorong lebih kuat. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik menjadi langkah konkret untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
Penutup yang penting adalah bahwa perjalanan menuju kesejahteraan adalah proses panjang yang memerlukan ketekunan. Generasi baru yang lahir di era digital membawa harapan baru: mereka lebih kritis, lebih terbuka untuk berdiskusi, dan lebih berani bersuara. Teknologi seharusnya menjadi senjata untuk melawan ketidakadilan, bukan alat untuk berkedok merusak.
Dua puluh tahun lebih pasca tumbangnya Orde Baru, rakyat masih menghadapi kenyataan pahit: kekayaan alam dikuras, tambang-tambang dikuasai korporasi besar, sementara warga sekitar hanya mendapat debu, banjir, dan tanah retak. Potret Kalimantan, tanah yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia, bisa jadi cermin. Hutan-hutan habis ditebang, tanah dilubangi, sungai keruh oleh limbah tambang. Ironisnya, rakyat yang tinggal di sekitar wilayah kaya sumber daya itu masih bergulat dengan kemiskinan.
Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan. Pertanyaan yang patut diajukan bukan sekadar “sudahkah kita merdeka?” melainkan “apa arti merdeka hari ini?” Jika kemerdekaan hanya sebatas mengganti bendera penjajah dengan bendera sendiri, maka sejatinya kita masih terjebak dalam ilusi. Merdeka haruslah berarti bebas dari kemiskinan, dari eksploitasi, dan dari cengkeraman segelintir elit yang menjadikan negeri ini ladang pribadi.
Delapan puluh tahun bukan usia muda bagi sebuah bangsa. Tapi perjalanan Indonesia mengajarkan, kemerdekaan bukan hadiah sekali jadi, melainkan perjuangan yang harus terus diperjuangkan. Agar di masa depan, ketika anak cucu mengibarkan merah putih, mereka bisa berkata dengan lantang bahwa merdeka bukan sekadar teriak di lapangan upacara, tapi kenyataan hidup sehari-hari.