KETUA Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Masduki Baidhawi menegaskan perkembangan platform digital tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemahaman agama di era kontemporer.
Menurut Kiai Masduki, dunia digital kini berada dalam pusaran kapitalisme pengawasan atau surveillance capitalism. Fenomena ini menjadikan data miliaran pengguna internet dikuasai oleh segelintir perusahaan global yang berfungsi layaknya negara baru.
Transformasi Data dalam Era Digital
Seiring dengan perkembangan teknologi, cara pengolahan dan pemanfaatan data telah mengalami transformasi yang signifikan. Dulu, kekayaan alam seperti tambang menjadi sumber utama kekuasaan. Namun kini, data menjadi tambang baru yang memberikan kekuatan luar biasa bagi perusahaan-perusahaan digital. Mereka memonopoli data miliaran orang dan mencatat segala yang kita lihat, baca, dan dengar. Hal ini membuat kontrol terhadap informasi semakin terpusat dan berpotensi menciptakan ketidakadilan informasi.
Data yang besar ini memberikan nilai tinggi, namun juga memunculkan risiko. Kita perlu menyadari bahwa tidak semua perusahaan bertanggung jawab dalam pengelolaan data ini. Ada banyak tantangan yang dihadapi, mulai dari keamanan data hingga eksploitasi informasi pribadi. Merujuk pada situasi ini, penting bagi kita untuk lebih kritis dalam menghadapi konten digital yang kita konsumsi sehari-hari.
Dampak Kapitalisme Digital Terhadap Agama
Logika kapitalisme digital telah merambah ke ranah agama, menimbulkan fenomena ekonomi atensi di mana konten viral bukanlah yang positif, melainkan yang sensasional. Dalam era ini, isu-isu kontroversial sering kali lebih menarik perhatian daripada pesan yang menyejukkan. Konten yang sering viral menciptakan ruang gema atau echo chamber yang memperkuat sentimen radikalisme. Ini menjadi peringatan penting bagi umat beragama untuk tidak terjebak dalam informasi yang menyesatkan.
Kiai Masduki mengilustrasikan bagaimana kelompok ekstremis menggunakan algoritma digital untuk melakukan propaganda. Platform seperti YouTube dan Facebook digunakan untuk menyebarkan ideologi mereka, yang dapat mengarah pada kekerasan dan intoleransi. Namun, di sisi lain, era digital juga memberikan peluang besar bagi literasi Islam. Akses terhadap khazanah turats (warisan keilmuan klasik Islam) semakin lebar, memungkinkan umat untuk memahami lebih dalam ajaran agama mereka.
Namun, tantangan tetap ada. Pemotongan teks tanpa konteks seringkali digunakan untuk legitimasi intoleransi, dengan tujuan meraup keuntungan ekonomi berbasis klik. Kita perlu menyaring informasi dengan lebih bijaksana, menyadari bahwa tidak semua yang kita baca atau tonton adalah kebenaran. Literasi digital menjadi penting untuk melindungi diri dari arus informasi yang tidak terkendali.
Selama sesi tanya jawab, Kiai Masduki menegaskan bahwa literasi digital umat Islam harus menjadi tameng utama dalam menghadapi berbagai informasi yang beredar. Konten hoaks dan sensasional tentu akan ada, namun penting untuk memperkuat kemampuan kita dalam mengelola informasi tersebut. Kita harus mengeksplorasi teknologi, bukan hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen konten yang positif.
Kiai Masduki juga menjelaskan bahwa MUI telah memulai upaya pemantauan konten media. Kerja sama dengan pemerintah dalam memantau tayangan televisi selama bulan Ramadan telah dilakukan, namun perlu diperluas ke media sosial. Ini menjadi langkah penting agar informasi yang beredar tetap dalam koridor yang sesuai dengan nilai-nilai agama.
Dengan demikian, ekosistem digital bukan hanya ruang informasi, tetapi juga bidang dakwah yang harus dijaga. Tanpa adanya literasi yang baik dan standar yang jelas, kita berisiko terjebak dalam dampak buruk dari ruang gema yang dapat menyesatkan pemahaman agama. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat untuk terus belajar dan mengembangkan cara bertindak yang sesuai dalam menghadapi lintasan digital ini.