Oleh Akbar Rahman
SINGAPURA adalah negara tanpa sungai besar, danau alami, atau cadangan air tanah.
Namun, alih-alih menyerah pada kondisi geografis, negara ini justru melahirkan inovasi-inovasi infrastruktur yang terdepan di dunia.
Sebut saja dua proyek ikonik yang menjadi simbol ketangguhan kota dalam mengelola keterbatasan, yakni Marina Barrage dan Pulau Semakau.
Di balik lanskap futuristik dan pemandangan Marina Bay, tersembunyi pelajaran berharga tentang bagaimana sebuah kota tanpa sumber daya alam bisa menjadi teladan dalam hal konservasi air dan pengelolaan rekayasa berkelanjutan.
Singapura mengajarkan kita bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan undangan untuk berinovasi. Bayangkan sebuah bendungan yang terletak tepat di jantung kota, yaitu Marina Barrage.
Marina Barrage adalah bendungan sepanjang 350 meter yang membendung lima sungai, menjadikannya reservoir raksasa penampung air. Diresmikan pada 2008, bendungan ini dirancang multifungsi, sebagai penyedia air baku, pengendali banjir, dan ruang publik.
Bendungan ini memiliki sembilan pintu baja, masing-masing sepanjang 30 meter, dan delapan pompa berkapasitas total 320 m³/detik. Air hujan dari area tangkapan seluas 10.000 hektare dialirkan ke reservoir ini, berfungsi untuk menjaga pasokan air dalam situasi kritis.
Pada saat pasang tinggi dan hujan deras, pompa raksasa akan membuang kelebihan air ke laut. Ini adalah solusi teknis yang efektif terhadap ancaman banjir kota.
Namun, fungsi Marina Barrage tak berhenti di teknis. Di atasnya terbentang taman hijau seluas 1,4 hektar, yang menjadi ruang terbuka adaptif. Di sini, warga bisa piknik, bermain layang-layang, dan mengamati wajah kota. Infrastruktur ini menjadi ruang sosial dan edukatif, menciptakan harmoni antara fungsi teknik dan publik.
Strategi Berkelanjutan dalam Pengelolaan Air
Sistem ketahanan air Singapura yang dikenal sebagai Four National Taps terdiri dari empat sumber utama: tangkapan air hujan, air impor, air daur ulang, dan desalinasi air laut.
Saat ini, air daur ulang sudah memenuhi 40% kebutuhan domestik dan ditargetkan mencapai 55% pada tahun 2060. Di sisi lain, desalinasi juga berkontribusi signifikan terhadap pasokan air nasional, menyumbangkan sekitar 25% dari total kebutuhan.
Konsumsi air di Singapura mencapai sekitar 430 juta galon per hari, dan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2065. Dalam konteks ini, Marina Barrage menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi nasional yang telah dibangun secara bertahap dan terukur.
Jika Marina Barrage adalah wajah inovasi dalam pengelolaan air, maka Pulau Semakau adalah jawaban atas persoalan sampah. Dibuka pada 1999, Semakau merupakan satu-satunya tempat pembuangan akhir di Singapura.
Pulau buatan ini terbentuk dari penggabungan Pulau Semakau dan Sakeng yang direklamasi dan dikelilingi tanggul sepanjang 7 kilometer. Dengan kapasitas tampung mencapai 63 juta meter kubik, pulau ini dirancang untuk mengelola limbah secara efisien dan ramah lingkungan.
Setiap hari, sekitar 2.000 ton abu hasil insinerasi sampah dibuang ke sel-sel landfill yang telah dirancang kedap. Abu sisa pembakaran dari incenerator seperti Tuas South—yang membakar hingga 3.000 ton sampah per hari dan menghasilkan listrik—tidak berakhir sebagai limbah pasif.
Alih-alih, area tertutup di Semakau ditanami kembali dan dikembangkan menjadi habitat alami. Pulau ini telah menjadi rumah bagi banyak spesies, seperti mangrove dan burung langka, sehingga dijuluki “The Garbage of Eden.”
NEA juga membuka sebagian kawasan Semakau sebagai ekowisata dan pusat edukasi lingkungan. Publik diajak untuk melihat langsung bahwa pengelolaan sampah bukan sekadar urusan membuang, tetapi juga tentang desain sistem yang berkelanjutan.
Pelajaran Berharga dari Infrastruktur Berkelanjutan
Apa pelajaran dari dua proyek ini? Pertama, Singapura menunjukkan bahwa keterbatasan dapat menjadi ruang untuk inovasi. Kedua, keberhasilan infrastruktur sangat bergantung pada keterpaduan antara desain, teknologi, kebijakan, dan edukasi publik yang konsisten.
Ketiga, ruang teknis bisa sekaligus menjadi ruang hidup—bukan hanya sebagai tempat fungsi, tetapi juga sebagai tempat penuh makna. Desain tidak hanya berkaitan dengan bentuk dan fungsi, tetapi juga sistem dan keberlanjutan.
Setiap bangunan, drainase, dan ruang kota seharusnya menjadi bagian dari sistem ekologis yang saling mendukung. Seperti yang dikatakan oleh seorang ahli, prinsip desain harus mampu menjawab tantangan iklim dan energi secara simultan.
Tentu, kita tidak bisa menyalin pengalaman Singapura secara mentah-mentah tanpa adaptasi. Namun, kita bisa meniru semangatnya dalam membangun kota berbasis sistem dan konsistensi, hingga melahirkan inovasi berkelanjutan tanpa henti dalam hal edukasi.
Infrastruktur bukan hanya soal beton, aspal, dan pipa. Melainkan juga tentang visi keberlanjutan dan wadah peradaban. Marina Barrage dan Semakau adalah bukti nyata bahwa kota bisa tumbuh dari krisis, asalkan dibangun dengan ilmu dan kesadaran.
Tuntutan akan inovasi dan keberlanjutan harus terus diprioritaskan dalam perencanaan kota, agar dapat membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.