Tanjungpinang – Pemerintah Kota Tanjungpinang bersama mahasiswa KKN-PPM Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Festival Budaya Melayu 2025 bertema “Satu Melayu, Ragam Pesona Warisan”, Minggu malam (3/8/2025).
Festival ini menjadi ruang kolaborasi antara pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat untuk memperkuat nilai-nilai budaya Melayu sebagai warisan yang terus hidup. Acara ini bukan hanya sekedar perayaan, melainkan juga upaya menjaga dan melestarikan budaya yang menjadi identitas bersama.
Perayaan Budaya Sebagai Media Pelestarian Warisan
Beragam penampilan budaya mengisi malam puncak, mulai dari pencak silat, gurindam, tari Melayu Nona Singapura, celoteh budak Melayu, stand-up comedy bernuansa lokal, hingga Joget Dangkong yang melibatkan semua pihak — dari mahasiswa hingga pejabat daerah. Keberagaman ini merupakan refleksi dari kekayaan budaya yang ada di dalam masyarakat Melayu.
Mahasiswa dan para tamu yang menghadiri acara ini mengenakan busana kurung Melayu, menambah kuat nuansa tradisi yang kental dan penuh kebersamaan. Penggunaan busana tradisional ini menjadi simbol pengakuan terhadap budaya lokal dan menunjukkan rasa hormat terhadap warisan nenek moyang. Selain itu, festival ini juga mempromosikan kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya melalui partisipasi aktif semua pihak.
Menjaga Semangat Budaya di Era Modern
Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, dalam sambutannya menegaskan pentingnya menjaga budaya Melayu bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai nilai hidup. “Budaya Melayu jangan hanya jadi kenangan. Ia harus terus hidup sebagai pedoman. Budaya adalah cerminan nilai, etika, dan jati diri,” ujar Lis. Pernyataan ini menunjukkan bahwa budaya bukan hanya sekedar tradisi, melainkan juga bagian yang tidak terpisahkan dari identitas masyarakat.
Dalam menghadapi era modern yang kian berkembang, tantangan untuk mempertahankan dan mempromosikan budaya lokal semakin besar. Dosen Pembimbing Lapangan KKN PPM UGM, Ashar Saputra, mengapresiasi dukungan yang diberikan pemerintah dan masyarakat Tanjungpinang selama 52 hari masa pengabdian. “Kami belajar dari masyarakat, sekaligus berkontribusi lewat berbagai program. Dan ini lebih istimewa karena kami berada di tempat asal bahasa persatuan kita,” ujar Ashar, merujuk pada sejarah Bahasa Melayu dari Pulau Penyengat.
Sebanyak 29 mahasiswa UGM terlibat dalam berbagai program, seperti pelatihan masyarakat, edukasi budaya, serta promosi warisan lokal. Kegiatan ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana pengalaman bagi mahasiswa, tetapi juga memperkukuh hubungan antara generasi muda dengan budaya yang ada. Dengan semangat kebersamaan, festival ini semakin menegaskan bahwa pelestarian budaya merupakan tanggung jawab yang harus diemban oleh semua lapisan masyarakat.
Di akhir acara, diumumkan pemenang lomba fashion show dan lomba tarkam yang sebelumnya telah digelar bersama warga. Hal ini menjadi penutup yang manis, menggambarkan kemeriahan dan keberhasilan kolaborasi antara semua pihak. Festival ini menciptakan momen berharga yang tidak hanya merayakan warisan budaya, tetapi juga memupuk rasa kebersamaan dan cinta terhadap keanekaragaman heritage yang dimiliki.