Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap dalam pengelolaan kawasan hutan. Penangkapan ini menjadi sorotan utama karena melibatkan sejumlah pihak yang berperan dalam proses tersebut.
Operasi ini berlangsung di beberapa lokasi, termasuk Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bogor. Dalam tindakan ini, sembilan orang berhasil diamankan, bersama dengan dua unit mobil dan uang tunai mencapai SGD189.000 serta Rp8,5 juta. Ini menandakan pentingnya keberadaan lembaga anti-korupsi dalam menjaga integritas pengelolaan sumber daya alam.
Dugaan Suap Pengelolaan Hutan
Kejadian ini berawal dari kerja sama antara dua perusahaan, masing-masing PT INH dan PT PML, dalam mengelola kawasan hutan yang berada di Lampung. Persoalan muncul ketika PT PML diduga tidak memenuhi kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta memiliki sejumlah utang terkait dana reboisasi dan pelaporan yang tidak sesuai. Kasus ini bahkan sudah memiliki kekuatan hukum tetap yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Namun, di tengah sengketa hukum tersebut, kedua perusahaan, pada awal tahun 2024, kembali menjalin kerjasama baru untuk mengelola area hutan seluas 2.619,40 hektare dan 669,02 hektare. Tindakan ini tentunya menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan kepatuhan hukum dari kedua belah pihak. Dalam proses ini, DIC, yang merupakan Direktur Utama PT INH, diduga menerima fee sebesar Rp100 juta melalui perantara ADT, serta satu unit mobil seharga Rp2,3 miliar dari DJN, Direktur PT PML.
Aspek Hukum dan Penanganan Kasus
Dalam kasus ini, baik DJN maupun ADT dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai pihak yang memberikan suap. Sementara itu, DIC sebagai penerima suap menghadapi tuduhan berdasarkan Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 UU yang sama. Penegakan hukum ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, terutama dalam sektor yang sangat strategis seperti kehutanan.
KPK menegaskan bahwa penanganan kasus ini menjadi bagian dari upaya untuk memperkuat tata kelola sumber daya alam (SDA) yang bersih dari praktik korupsi. Sektor kehutanan bukan hanya bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga berperan penting dalam meningkatkan penerimaan negara. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memahami dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik suap dan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam.