Oleh: Akbar Rahman
Ketika kita menjelajahi Pegunungan Meratus, baik suara alam yang hening maupun pemandangan menakjubkan padi huma menyapa kita.
Pegunungan Meratus menjadi denyut nadi kehidupan di Kalimantan Selatan, sebagai rumah bagi ribuan jiwa yang telah hidup selama beberapa generasi. Di dalam pegunungan ini, terdapat 23 desa dengan populasi lebih dari 20 ribu orang yang saling menjaga hubungan harmonis antara masyarakat dan alam.
Bagi masyarakat Dayak Meratus, Meratus bukan sekadar wilayah geografis, melainkan juga sumber kehidupan, obat, tempat untuk berlindung, serta identitas kultural dan spiritual.
Namun, saat ini Meratus dihadapkan pada sebuah dilema. Pemerintah mengusulkan untuk menjadikannya Taman Nasional seluas hampir 120 ribu hektar. Di buku catatan, tujuan dari wacana ini sangat mulia: melestarikan hutan, melindungi keanekaragaman hayati, serta memperkuat ketahanan ekologi.
Akan tetapi, dibalik gagasan tersebut, ada ketakutan yang mendalam, bahwa perubahan status Meratus menjadi Taman Nasional dapat mengusir masyarakat adat dari tempat tinggal mereka yang telah dijaga selama ini.
Sejarah menunjukkan bahwa konservasi yang dijalankan oleh pemerintah seringkali memiliki wajah yang berlawanan. Di Taman Nasional Komodo, misalnya, masyarakat adat terpaksa diusir dari zona inti, kehilangan hak untuk berburu dan memancing, sementara investor di bidang ekowisata dapat berkembang tanpa batasan.
Kekhawatiran bahwa Meratus akan mengalami nasib yang sama bukanlah hal yang tidak mungkin. Masyarakat adat Meratus telah menjaga hutan dengan metode kearifan lokal, namun kini mereka dihadapkan pada kemungkinan kehilangan ruang hidup mereka karena konservasi yang tidak mengutamakan hak mereka.
Paradigma konservasi yang diterapkan oleh pemerintah masih menganggap manusia sebagai ancaman bagi lingkungan. Karenanya, orang-orang harus dijauhkan, bahkan disingkirkan, agar ekosistem tetap terjaga.
Padahal, masyarakat adat Meratus telah menunjukkan bahwa mereka dapat menjaga hutan dengan cara yang efektif. Mereka memiliki sistem pengelolaan ruang yang berlapis, yang diwariskan secara turun-temurun dan telah terbukti akurat dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Terdapat huma, lahan padi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Setelahnya, huma tersebut diolah menjadi kebun, seperti pisang, untuk memperkuat ekonomi rumah tangga. Beberapa tahun kemudian, lahan itu akan terganti menjadi kebun jarungan yang menghasilkan produk seperti kayu manis.
Seiring berjalannya waktu, muncul kebun kemiri dan karet yang menjadi penyimpanan jangka panjang. Di sisi lain terdapat kawasan berburu, dan hutan keramat yang dihormati sebagai wilayah sakral.
Sistem ini adalah bukti bahwa konservasi dapat muncul dari inovasi, bukan sekadar larangan. Dengan metode gilir-balik, siklus ladang, dan adanya zona sakral, masyarakat Meratus memastikan hutan mereka tidak hanya terjaga, tetapi juga tetap mendukung kehidupan satwa di sekitarnya.
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa pendekatan serupa dapat berhasil. Nepal, sejak akhir 1970-an, telah memamekan program Community Forestry, memberikan hak kelola kepada kelompok yang menggunakan hutan. Kini terdapat lebih dari 17 ribu kelompok yang mengelola 1,65 juta hektar hutan, melibatkan sekitar 1,4 juta rumah tangga.
Hasilnya sangat mengesankan, tutupan hutan Nepal yang sempat menurun menjadi 26 persen kini meningkat hingga 45 persen dalam waktu dua dekade. Hutan yang dulunya gundul kini kembali hijau, ekonomi desa pun tumbuh, disertai dengan rasa kepemilikan yang kuat oleh masyarakat.
Contoh lain datang dari Meksiko, di mana komunitas adat mengelola jutaan hektar hutan dengan prinsip bisnis sosial, melakukan penebangan yang berkelanjutan, membangun industri kayu lokal, serta mengembangkan ekowisata sambil menjaga biodiversitas.
Dampaknya, kebakaran hutan berkurang, ekosistem tetap terjaga, dan tingkat kemiskinan di desa menurun dengan signifikan.
Indonesia pun tidak ketinggalan dalam hal ini. Komunitas Dayak Wehea di Kalimantan Timur telah berhasil menjaga 38 ribu hektar hutan melalui aturan adat yang ketat. Mereka melarang perambahan, terlibat dalam patroli hutan, mendidik generasi muda tentang konservasi, dan menjaga hutan sebagai ruang spiritual. Hasilnya, hutan tersebut tetap utuh dan berfungsi sebagai habitat penting bagi orangutan.
Ketiga contoh ini dari Nepal, Meksiko, dan Kalimantan Timur menunjukkan bahwa konservasi dapat berhasil ketika masyarakat lokal diposisikan sebagai subyek, bukan hanya sebagai objek kebijakan.
Dengan melihat pengalaman global dan lokal ini, jalan yang harus ditempuh untuk Meratus seharusnya jelas. Alih-alih menjadikannya Taman Nasional yang eksklusif dengan potensi konflik, konservasi Meratus harus diupayakan melalui jalan kerja sama.
Terdapat tiga langkah yang lebih adil dan realistis untuk mencapai tujuan tersebut.
Pertama, pengakuan terhadap hutan adat dan pendaftaran wilayah adat sebagai Wilayah Konservasi yang Dikelola oleh Masyarakat Adat. Ini sejalan dengan peraturan daerah yang ada tentang pengakuan masyarakat hukum adat. Dengan adanya pengakuan formal, wilayah adat yang telah terpetakan dapat dilindungi tanpa harus mengecualikan manusia dari proses konservasi.
Kedua, memperkuat skema Perhutanan Sosial. Bagi desa yang belum mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat, pemerintah dapat mendorong pembentukan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, atau kemitraan konservasi melalui regulasi yang sudah diterapkan. Dengan cara-cara tersebut, masyarakat tetap memiliki akses legal sekaligus kewajiban untuk menjaga lingkungan.
Ketiga, jika pemerintah tetap memaksa menjadikan Meratus sebagai Taman Nasional, harus ada zona tradisional di dalamnya. Zona ini harus menjamin keberlangsungan praktik adat seperti rotasi ladang, berburu secara terbatas, pengobatan herbal, dan ritual di hutan keramat. Tanpa kebijakan tersebut, Taman Nasional Meratus hanya akan menjadi alat penggusuran baru.
Risiko yang timbul apabila konservasi tetap didasarkan pada paradigma lama sangat besar. Konflik sosial akan sangat mungkin terjadi, karena masyarakat yang terasing dari tanah leluhur tidak akan tinggal diam. Lingkungan juga akan menjadi terancam, karena ketika masyarakat kehilangan hak atas wilayah mereka, mereka juga kehilangan tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutannya.
Oleh karena itu, suara masyarakat sipil harus benar-benar diperhatikan. Pemerintah daerah dan DPRD perlu berani menegakkan peraturan yang ada dan tidak hanya menjadikannya sebagai dokumen tanpa aksi nyata.
Kita memerlukan Dewan Pengelola Meratus yang melibatkan masyarakat adat, pemerintah daerah, akademisi, dan organisasi sipil untuk merancang strategi konservasi yang kolaboratif.
Prinsip persetujuan dan informasi yang jelas harus menjadi dasar setiap kebijakan, di mana semua proses melibatkan persetujuan masyarakat sebelum pengambilan keputusan.
Terakhir, prioritas harus diberikan kepada ekonomi masyarakat melalui pengembangan agroforestri, madu, rotan, hasil hutan bukan kayu, serta ekowisata berbasis komunitas.
Pada akhirnya, Meratus bukan hanya sekadar bentang alam yang hijau, melainkan rumah bagi manusia, satwa, budaya, dan spiritualitas. Konservasi tidak boleh menjadi alat untuk mengusir masyarakat, tetapi harus menjadi sarana untuk merangkul semua elemen yang ada.