TAHUN Baru Islam kembali hadir. Bulan Muharram, sebagai pembuka kalender Hijriyah, datang dengan hikmatnya. Tanpa riuh rendah seperti saat perayaan tahun baru Masehi, tahun baru ini seringkali berlalu begitu saja. Ia bukan untuk dirayakan dengan suara gaduh, melainkan untuk direnungkan dengan tenang.
IA menjadi pengingat bagi kita. Sebuah wahana perenungan. Menghadirkan pertanyaan mendalam: Sudahkah kita melakukan perubahan yang seharusnya di dalam hidup kita?
DATA menunjukkan bahwa banyak orang kurang memahami makna hijrah. Hijrah bukan sekadar berpindah tempat, tetapi merupakan transformasi yang lebih dalam secara mental, spiritual, dan sosial. Ini adalah sebuah perjalanan menuju pembebasan dari segala hal yang menghambat, termasuk kemiskinan dan kebodohan yang meresap dalam masyarakat.
Makna Hijrah dalam Konteks Sosial
Hijrah menjadi tonggak penting dalam sejarah umat Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, hijrah dijadikan waktu awal kalender Hijriyah. Ini menandakan transisi dari periode penindasan menuju kebangkitan peradaban. Namun, ironisnya, keadaan umat saat ini masih terjebak dalam masalah yang sama: kemiskinan dan kebodohan.
Sebuah data yang mencemaskan menunjukkan bahwa sekitar 25 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dan mayoritas adalah umat Islam. Ditambah dengan data Bank Dunia yang menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen populasi berada pada tingkat penghasilan di bawah Rp 600 ribu per bulan. Angka-angka ini bukan hanya statistik, tetapi mencerminkan realita kehidupan yang sangat menyedihkan.
Pendekatan Praktis dan Solusi
Di balik data statistik tersebut terdapat manusia yang nyata. Anak-anak yang terpaksa putus sekolah untuk membantu ekonomi keluarga, hingga buruh yang tidak pernah mencapai upah yang layak. Banyak dari mereka hidup mengandalkan bantuan sosial, menanti nasib yang penuh ketidakpastian. Parahnya lagi, pendidikan yang bermutu menjadi barang mewah. Kenapa bisa demikian?
Di dalam Al-Qur’an terkandung ajaran tentang mengubah keadaan diri: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d:11). Ayat ini seharusnya menjadi pendorong bagi kita semua untuk berkontribusi, bukan hanya mereka yang berada dalam kemiskinan, tetapi juga mereka yang memiliki kemampuan.
Sangat disayangkan, kelompok yang berada dalam keadaan lebih baik sering kali bersikap pasif. Mereka menganggap urusan kemiskinan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Dalam pandangan Islam, berbagi melalui zakat, infak, dan sedekah adalah kewajiban. Seharusnya, tak hanya sekadar ritual, melainkan sebuah tindakan nyata untuk membantu sesama.
Misalnya, mari kita renungkan: bagaimana mungkin kita bisa berpuas diri dengan kenyamanan, sementara ada saudara-saudara kita yang berebut makanan bahkan untuk bertahan hidup? Peduli kepada sesama umat adalah esensi dari ukhuwah Islamiyah yang seharusnya kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika umat ini tergerak untuk menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka untuk membantu yang membutuhkan, maka akan tercipta kesejahteraan yang lebih merata. Sebagai gambaran, jika 20 persen umat Islam yang tergolong menengah menyisihkan Rp 100 ribu per bulan, maka potensi dana yang terkumpul bisa mencapai hingga Rp 600 triliun dalam sepuluh tahun. Ini jelas akan memberikan dampak yang signifikan dalam membantu pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Membangun Kesadaran Kolektif
Bila kita ingin Tahun Baru Islam yang lebih bermakna, maka kita perlu merenungkan tujuan hijrah secara kolektif. Hijrah tidak hanya tentang pergerakan fisik, tetapi juga tentang perpindahan masuk ke dalam kesadaran yang lebih tinggi. Ini harus menjadi ajakan bagi semua, terutama bagi mereka yang memiliki fasilitas dan sumber daya lebih untuk membagikannya.
Seperti yang diingatkan Rasulullah SAW: “Tidak beriman salah satu di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” Dalam hal ini, cinta bukan sekadar bahasa, melainkan tindakan nyata. Mari kita berupaya untuk menciptakan lingkungan di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang. Dari sini, makna hijrah akan kembali hidup.
Apakah kita akan membiarkan setiap tahun datang dan pergi tanpa perubahan yang berarti? Atau kita akan mulai mengambil langkah untuk membuat perbedaan di sekitar kita? Hijrah bukan hanya soal ritual, tetapi juga keberanian untuk melakukan perubahan. Dengan langkah-langkah kecil, kita dapat mencapai perubahan yang lebih besar demi kesejahteraan umat.
APABILA kita benar-benar sadar, maka kita akan menemukan bahwa perubahan sosial dan pendidikan yang lebih baik adalah mungkin. Itu adalah hasil dari niat kolektif yang tulus untuk saling membantu, berbagi, dan menginspirasi. Mari kita jadikan Tahun Baru Islam sebagai momentum untuk bangkit bersama. Karena sejatinya, hijrah bukan hanya soal fisik, tetapi juga keberanian untuk melakukan aksi nyata demi masa depan yang lebih baik.